Masyarakat Indonesia masih menganggap HIV AIDS merupakan penyakit kutukan. Penyebaran virus ini pun ada di seluruh provinsi Indonesia. Hal ini diperkuat oleh data yang baru dirilis Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, tercatat jumlah orang dengan HIV (ODHIV) di Indonesia sebesar 519.158 orang1Sumber: Kasus HIV di Indonesia Capai 519 Ribu Per Juni 2022, CNN Indonesia, https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20220901134133-255-841919/kasus-hiv-di-indonesia-capai-519-ribu-per-juni-2022-jakarta-terbanyak. Stigma dan diskriminasi pun terus terjadi. Padahal HIV AIDS bisa saja terjadi pada keluarga kita, karena ia penyakit yang tidak pandang bulu. Jika ada anggota keluarga yang baru saja mendapatkan hasil tes positif, bagaimana kita harus bersikap dan berperilaku?
Para ahli dan peneliti menjelaskan bahwa seseorang berstatus HIV positif, tidak bisa diukur dari fisik: tubuh yang kurus atau mata yang cekung, atau kehidupan seksualnya. Malah, tidak jarang mereka yang sudah hidup dengan HIV bertahun-tahun, tidak merasakan sakit dan tidak mengeluhkan adanya gangguan kesehatan. Bertahannya seseorang dengan kondisi sehat dalam rentang waktu yang panjang sangat dipengaruhi oleh keinginan yang kuat dalam dirinya sendiri, dan kecermatan menjaga kesehatan dengan menerapkan pola hidup sehat. Juga keluarga yang menyayangi dan mendukungnya.
Apalagi ketika seseorang divonis terinfeksi HIV, kondisi kejiwaannya akan sangat terguncang dan labil. Dibutuhkan uluran tangan dan perhatian dari keluarga dan orang-orang terdekatnya. Hal ini telah diteliti oleh Charles, dkk dari Medical Association of India, New Delhi, India tahun 2012, menemukan bahwa mereka yang positif HIV AIDS banyak yang tidak bisa menerima keadaannya. Bahkan merasakan jika kualitas hidup mereka rendah. Dia juga menemukan bahwa terdapatnya dukungan sosial yang kurang baik, akan memberikan dampak negatif pada fisik mereka.
Selain tidak menerima status sebagai ODHIV, mereka juga menghadapi tantangan besar di tengah masyarakat. Salah satunya adalah stigma dan diskriminasi. Stigma muncul di tengah masyarakat yang meyakini bahwa HIV AIDS merupakan hukuman atas perilaku manusia yang dianggap tidak bermoral sehingga dipercayai sebagai penyakit kutukan. Inilah anggapan masyarakat yang kemudian memunculkan jika ODHIV harus bertanggung jawab terhadap HIV AIDS yang mereka terima. Akibatnya, orang yang menderita HIV AIDS mendapat respon dan sambutan yang tidak sewajarnya, terkesan tidak ada keadilan, bahkan tidak jarang memunculkan sikap dan pandangan sinis.
Masyarakat merasa takut pada suatu yang tidak wajar, sedangkan ODHIV tentu saja tidak menerima perlakuan isolasi sosial. Yang lebih menyakitkan, jika masyarakat mengetahui status ODHIV, mereka menyebarkan informasi ini kepada orang lain. Sehingga ODHIV sering kali ditolak dalam berbagai kegiatan masyarakat, bahkan tidak mustahil juga ditolak dalam pendidikan, pekerjaaan, dan lainnya.
Atas dasar berbagai penolakan itulah, akhirnya ada sebagian mereka penderita HIV AIDS menjalani kehidupan dengan menyimpan status yang dideritanya. Bisa saja mereka akhirnya tidak melakukan penanganan pengobatan medis. Akibatnya akan muncul masalah penurunan kondisi kesehatan. Dan lebih jauh lagi, angka penularan HIV akan bertambah, maka dukungan keluarga untuk ODHIV sangat dibutuhkan.
Bagi ODHIV, energi yang mereka butuhkan akan lebih besar, bila dibandingkan dengan mereka yang tidak ODHIV. Karena untuk menjaga kestabilan berat badan dan melakukan beragam aktivitas seperti orang pada umumnya, mereka membutuhkan makanan yang sehat. Oleh sebab itu, peran keluarga sebagai sosok orang terdekat mengandung komponen penting yang tak terlihat sebagai bagian yang memberikan kontribusi besar dalam kehidupan ODHIV.
Bagi ODHIV, dukungan keluarga adalah suatu hal yang tak dapat dipisahkan. Dapat dibayangkan betapa senang, tenang, dan nyamannya ODHIV apabila menerima perlakuan yang sangat mereka butuhkan dalam menjalani keseharian. Dukungan keluarga yang diterima, diyakini akan membuat ODHIV punya rasa percaya diri untuk berjuang melawan penyakitnya. Mereka juga akan mau mendengarkan masukan dan saran dari keluarga dalam upaya menjadi ODHIV yang berhasil melawan serangan virus tersebut. Dukungan keluarga yang mau menerima status ODHIV, akan dapat membantu mereka untuk menghadapi masa-masa sulit dalam upaya pengobatan dan menghadapi stigma negatif masyarakat.
Bentuk dukungan keluarga dapat berupa dukungan emosional, seperti kata-kata yang menyejukkan hati, sikap peduli (bukan sikap kasihan), memberikan motivasi serta memberikan perhatian. Selain itu dalam bentuk dukungan penghargaan, misalnya memberikan masukan dan cerita bahwa banyaknya di luar sana yang tidak mendapatkan penanganan atau pengobatan dengan harapan ODHIV akan bersemangat dalam menjalani hidup dan mengikuti tahapan pengobatan. Keluarga pun dapat memberikan dukungan, seperti mengingatkan cek kesehatan, minum obat teratur, dan melakukan aktivitas positif lainnya, serta beragam kebutuhan lain untuk menjadi sehat dan bahagia. Tidak kalah pentingnya adalah dukungan keuangan, walaupun ARV diberikan secara cuma-cuma, namun dalam hal penambahan gizi dan vitamin serta makanan yang sehat membutuhkan biaya.
Semakin besar dukungan keluarga yang diperoleh ODHIV, akan semakin meningkatkan semangat hidup mereka, dan pada akhirnya kualitas hidup ODHIV akan jauh lebih baik. Dukungan keluarga menjadi salah satu kunci utama dalam meredam penyebaran HIV dan sebagai pendorong utama keberhasilan pengobatan melawan virus pada ODHIV.
- 1Sumber: Kasus HIV di Indonesia Capai 519 Ribu Per Juni 2022, CNN Indonesia, https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20220901134133-255-841919/kasus-hiv-di-indonesia-capai-519-ribu-per-juni-2022-jakarta-terbanyak