Kupu-kupu tidak pernah meminta hidup lebih dari satu dekade. Dia ditakdirkan untuk hidup selama hitungan hari saja.
Begitu pula aku, bukan pilihanku menjadi perempuan. Aku, perempuan berumur 27 tahun, bekerja sebagai pekerja seks sejak berusia 18 tahun, yang sekarang menjadi objek besar dari sebuah kegiatan global untuk menghidupi orang banyak.
Hampir setiap enam bulan sekali, seseorang yang menyebut dirinya sebagai petugas lapangan, mengajakku ke puskesmas untuk melakukan tes HIV. Jarak dari tempat kosku tinggal cukup jauh dengan puskesmas, aku biasa berangkat sendiri ke sana. Ketika sampai, mereka sudah menungguku di pintu gerbang. Dia meminta KTP milikku yang katanya untuk di data dan didaftarkan ke puskesmas tersebut, lalu aku diajak untuk menunggu di depan ruangan sampai namaku dipanggil oleh petugas puskesmas.
Biasanya, aku hanya menunggu paling lama selama 30 menit untuk dipanggil oleh petugas puskesmas. Setelah kudengar namaku dipanggil, aku segera berdiri dari tempat duduk dan masuk ke dalam ruangan. Di dalam ruangan aku telah ditunggu oleh seorang petugas yang meminta aku duduk di depannya. Pada momen seperti itulah, aku selalu ingin marah, ingin mengucap kasar, bahkan, kalau bisa ingin kutampar petugas itu.
Dia melontarkan banyak pertanyaan kepadaku, termasuk hujatan yang keluar dari bibir hitamnya itu. Dari siapa namaku, tanggal lahirku, alamatku, dan pekerjaanku. Aku selalu mengatakan bahwa aku adalah pekerja malam yang melayani banyak laki-laki. Ketika jawaban itu kusampaikan, pertanyaannya jadi melebar. Kenapa bisa bekerja seperti itu, apakah orang tuaku tidak mendidikku, apakah aku tidak tahu kalau itu berdosa, sampai aku diminta bertobat.
Dalam hatiku, “Tau apa dia soal dosa, tau apa dia soal didikan orang tuaku, sudah sempurnakah dia menjadi manusia?”. Ini yang sebenarnya membuatku malas jika diajak ke puskesmas. Bahkan, aku pernah mengatakan pekerjaanku hanya ibu rumah tangga agar petugas itu tidak membuatku marah dengan hujatannya. Selesai dengan segudang pertanyaan dan cercaannya, aku bergeser ke ruang yang berbeda untuk pengambilan darah dan pemeriksaan vagina.
Aku seringkali menolak pergi ke puskesmas tersebut. Namun apalah daya, aku malah diminta untuk mengikuti saja. Empat tahun sudah aku berinteraksi dengan mereka. Bagaimana aku tidak bilang bahwa aku sebuah objek? Yang mereka butuhkan hanya KTP-ku. Ketika aku cerita keluhanku, seperti kondisi kesehatan vaginaku; petugas layanan yang sangat mengecewakan; sampai kejadian aku tertangkap razia, mereka hanya bilang mohon maaf dan tutup mata.
Aku bosan diajak untuk periksa-periksa lagi. Aku marah dengan sikap mereka yang menghinaku. Aku bukan objek untuk mereka, aku perempuan yang juga seorang manusia.
Identitasku jadi mata pencaharianmu, maka perlakukan aku sebagai manusia di hadapanmu.
Jakarta, 15 November 2022
Kupu-kupu