Persetujuan Tindakan Medis Tes HIV pada Anak Homoseksual dalam Perspektif HAM

Indonesia urutan kelima sebagai negara paling berisiko terhadap penularan HIV di Asia. Persentase laporan Sistem Informasi HIV dan AIDS (SIHA) tahun 2017: laki-laki 62% dan perempuan 38% dengan rentang usia 15—19 tahun sebanyak 1.729 kasus, adalah lelaki seks lelaki (LSL) menempati peringkat ketiga persentase HIV positif. Jika dilihat dari estimasi angka kasus baru HIV di Indonesia hingga akhir 2018 terdapat 46.000 di mana estimasi laki-laki di atas usia 15 tahun sebesar 27.000.

Tabulasi data yang dirinci oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) berdasarkan klaster perlindungan anak korban akses pelayanan kesehatan sebanyak 504 kasus dari rentang tahun 2011—2016, sedangkan anak sebagai korban keracunan dan penyakit menular sejumlah 726 kasus setara 8,5%. Angka insiden dan prevalensi rasio berdasarkan negara tahun 2018 Indonesia memiliki rasio 5-9,99%, berkenaan peningkatan infeksi HIV dan persentase ODHIV menolak terapi antiretroviral.

Data yang didapatkan di Jawa Tengah, populasi lelaki seks lelaki (LSL) rentang usia 13-17 tahun yang dirujuk tes HIV, menunjukkan 251 orang, 248 orang diantaranya positif HIV di tahun 2018 dan 534 orang di mana 6 orang positif HIV pada tahun 2019. Anak dengan HIV dan AIDS (ADHA), data penelitian dilakukan tahun 2015 memaparkan jumlah tertinggi ADHA adalah anak dengan usia 15—19 tahun sejumlah 1.119 orang, persoalan anak dengan HIV tidak hanya terjadi dalam ruang lingkup kesehatan, tetapi jua terjadi dalam lingkup lain.

Stigma dan diskriminasi terhadap ADHA tinggi, setidaknya data yang ditampilkan dalam penelitian, baik di lingkungan rumah, sekolah, maupun fasilitas pelayanan kesehatan. Sebagai kelompok rentan yang harus dilindungi, mereka berhak untuk dapat hidup dengan layak dan aman. Anggapan masyarakat terlalu berlebihan, bahwa ADHA sangat mudah menularkan penyakit kepada anak lainnya. Diusir dari keluarga, berhadapan dengan stigma masyarakat, seorang remaja homoseksual ditemukan berhenti mengkonsumsi ARV.

Ketidakhadiran pemerintah Indonesia menanggulangi kepanikan moral komunitas homoseksual, mencipta konsekuensi negatif terhadap kesehatan publik, ungkap Kyle Knight. Stigma dan diskriminasi yang disematkan atas orientasi homoseksual pun terjadi di layanan kesehatan. Atas hak yang dilanggar adalah pelanggaran hak atas kesehatan (45.83%). Hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi ditemukan (29.17%) kasus. Pemahaman tentang HIV dan HAM perlu dipahami oleh petugas Voluntary Counselling and Testing (VCT) atau pemberi layanan ARV.

Mendesak pentingnya penguatan kapasitas pemahaman atas lesbian, gay, biseksual, dan transgender. Kasus stigma dan diskriminasi yang dilakukan oleh media dan penyelenggara pelayanan kesehatan, misal, pernyataan Dinas Kesehatan Tulungagung, bahwa homoseksual sebagai perilaku menyimpang dan kasusnya tinggi, terdapat 498 LSL dan 60%-nya merupakan remaja rentang usia 11—20 tahun. Framing homoseksual sebagai sebuah komunitas predator acap melekat pada seseorang dengan orientasi homoseksual.

Di Yogyakarta, diceritakan Ragil Sukoyo melalui Gatra online, Saat mengecek tensi darah, petugas enggan memegang tangan ODHIV karena takut tertular. Petugas kesehatan di luar profesinya, justru menceramahi tentang agama, padahal tujuan kedatangan pasien adalah berobat. Meski berisiko, namun komunitas ini belum tentu terinfeksi HIV dan tetap membutuhkan layanan kesehatan secara paripurna. Sebuah ironi, ketika seseorang berorientasi homoseksual, ODHIV dan masih anak-anak, terjadi stigma dan diskriminasi ganda.

Kasus di Inggris, seorang dokter dianggap melanggar kaidah bioetik medis (Beneficence, Non-maleficence, Autonomi, Justice) sebagai panduan dasar dan standar atas sikap dan tindakan terhadap penyakit yang diderita pasien kaidah autonomi, dianggap tidak menghargai harkat dan martabat pasien sebagai manusia untuk menentukan nasib sendiri. Diajukan di depan Dewan Medis, serupa dengan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran di Indonesia, karena melakukan tes HIV tanpa seizin pasien dan dinyatakan bersalah.

Meski berlaku Equality Before the Law, di mana asas kesamaan menghendaki adanya keadilan, namun berlaku pula asas kewibawaan, perkiraan adanya ketidaksamaan. Asas hukum yang dikenal sebagai asas Lex Speciali Derogat Legi Generali. Peraturan yang bersifat lebih rendah akan lumpuh oleh peraturan yang tingkatnya lebih tinggi saat keduanya mengatur hal yang sama, namun dianggap terdapat pertentangan satu sama lain (Lex Superior Derogat Legi Inferiori).

Mengesampingkan penilaian atas moralitas anak dengan orientasi homoseksual dan lebih memandang sebagai manusia, karena menurut Eikema Hommes, asas hukum bukanlah norma hukum konkret namun perlu dipandang sebagai petunjuk dasar bagi hukum yang berlaku, karena tujuan hukum adalah kesempurnaan, harapan ideal di mana asas hukum memberikan dimensi etis kepada hukum. Secara komprehensif, baik yang tertuang di dalam kaidah hukum internasional maupun Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai sebuah ketentuan yang seyogianya dilaksanakan (das Sollen) berseberangan dengan peristiwa konkret (das Sein) yang terjadi.

Harapan adalah cita-cita hukum, saat tenaga kesehatan dan dokter memahami kondisi sosial dan psikis, nilai insani sebagai arus utama, mengindahkan hak melekat pada anak homoseksual. Kerentanan anak dengan orientasi seksualnya terhadap diskriminasi tes, kerahasiaan dan stigma moral perilaku seksualnya berkelindan potensi dampak buruk bagi tenaga kesehatan saat pengambilan keputusan.

Populasi anak homoseksual ada dan membaur dalam masyarakat heteroseksual. Dibutuhkan sebuah peraturan yang spesifik, namun dapat segera direalisasikan dalam bentuk Standar Operasional Pelaksanaan (SOP) tes HIV Persetujuan Tindakan Kedokteran anak homoseksual, perlindungan kerahasiaan, Informed Consent dan pendokumentasian meski dengan persetujuan lisan atas dasar moralitas dan prinsip bioetika tentang autonomi sebagai penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia.

 

——-

 

Penulis

Wahyu Soerodimedjo; seorang penggiat di bidang HIV AIDS. Bekerja untuk YPK ELSA dan tinggal di kota Semarang.
Instagram: @wahyu_soerodimedjo, @yayasan_elsa

Sebarkan