Riwayat Edo (Bagian #1)

Gunung tandikek tagak badiri
Diapik Gunung Merapi jo Singgalang
Kaburuak urang jaan dicari
Mari jago sajolah diri sanak surang.

Makna dari pantun di atas jelas sekali mengingatkan kita, bahwa apa pun yang terjadi pada orang lain, mari tidak melihat masa lalunya. Tidak juga mencari kesalahannya. Apa? Mengapa? Siapa? Simpan dulu pertanyaan itu, gais! Tapi, mari berikan rasa nyaman dan akses yang dibutuhkan orang tersebut. Karena semua orang dapat berubah menjadi lebih baik, seburuk apa pun masa lalunya, jika dia diperlakukan sama dengan manusia lainnya.

Huufff … ingatanku kembali pada kejadian 2 tahun lalu. Tepatnya tahun 2020, ketika virus Corona mulai jalan-jalan ke kota tempat kelahiranku, kota Padang. Adalah kota terbesar di pantai barat pulau Sumatera dan merupakan pintu gerbang barat Indonesia dari Samudra Hindia dengan luas 695 km dan berdasarkan data BPS tahun 2021, penduduknya berjumlah 909.040 jiwa.
Penduduknya sangat majemuk, terdiri dari banyak suku, walaupun Minangkabau paling dominan. Di kota inilah aku menemukan pengalaman yang tidak akan kulupakan sepanjang hidupku. Cerita ini menjadi pembelajaran untuk semua orang, bahwa stigma dan diskriminasi harus sama-sama kita hindari, mulai dari diri sendiri.

***

Pagi itu, aku masih tidur nyenyak. Biasanya pada hari Minggu, aku tidur ngalai-ngalai atau bermalas-malasan. Tiba-tiba, Ibuku mengetuk pintu dan mengatakan ada yang ingin bertemu. Ternyata aku melihat seorang Ibu dengan baju daster warna biru sudah duduk di ruang tamu dengan wajah kuyu dan mata sembab habis menangis.

Aku mendekat dan menanyakan kabarnya’,”Etek apo kaba?, ada yang bisa dibantu?”, begitu sapaku. Wanita yang kukenal ini badannya memang kurus, tapi saat itu terlihat lebih kurus karena beban pikiran yang dbawanya. “Etek”, begitu aku memanggilnya adalah tetangga yang usianya sudah kepala enam, kampung kami hanya beda RT. Tiba-tiba, Etek menangis terisak-isak, tanpa ada mengeluarkan kata-kata, hampir 20 menit aku hanya diam dan mengusap-usap punggungnya sambil memberikan tisu gulung—maaf bukan maksud pelit, tapi persediaan yang ada hanya tisu gulung.

Setelah sedikit tenang, barulah dia bercerita, bahwa Edo, anaknya yang berusia 26 tahun terinfeksI virus HIV, dan saat ini dalam kondisi tidak stabil. Di rumah, Edo sering marah-marah, semua perabotan rumah dilempar dan dihancurkan. Etek bercerita panjang kalau saat ini beberapa anggota keluarga lain dan tetangga tidak mau dekat lagi dengannya, karena takut ketemu Edo. Dua orang saudaranya sama sekali tidak mau lagi ketemu Edo, karena merasa malu.

Kenapa Edo bisa tertular HIV? Apalagi mereka mengetahui Edo tertular karena berprofesi sebagai pekerja seks laki-laki yang sering pergi dengan berganti-ganti pasangan. Awalnya keluarga berpikir selama ini Edo pergi bekerja. Dia terlihat sibuk dan dijemput oleh teman-temannya. Harapan dari si Ibu, aku diminta untuk bertemu Edo agar bisa menenangkannya.

Sore harinya, aku bertamu ke rumah Etek sambil membawa makanan kesukaan Edo—sebelumnya aku sudah cari info melalui Etek. Akhirnya pertemuan dengan Edo berlangsung hampir dua jam. Awalnya dia tidak senang diajak bicara, tapi aku mencoba mendekati dengan santai dan rileks. Edo nampak sedikit senang karena aku juga menanyakan apakah dia sudah minum obat. Bahkan menanyakan kalau dia ke rumah sakit di salah satu kota kami, biasa bertemu dengan siapa saja? Ada beberapa pertanyaanku dijawab benar, tapi beberapa tidak dijawab fokus. Kadang, sikap Edo seperti orang halusinasi.

Tak terasa, kami bicara sampai dua jam. Edo lebih banyak cerita tentang perasaanya yang marah terhadap orang di sekitarnya. Kalimat yang sering di ucapkannya, ”Edo diusia kalau pai bali lontong kalapau, Kak. Anak-anak ketek biasonyo banyak main di halaman rumah wak, kini dilarang amaknyo, satiok yang datang main ke rumah, tibo amaknyo malambuik anaknyo, si Santi jo lakinyo suko malambuik Edo, Kak,” sambil berlinang air mata*.

Aku mendengarkan dia bercerita. Kadang, dia terbahak-bahak, kadang menangis. Aku mengingatkan dia untuk tetap minum obat dalam situasi apa pun, jangan sampai putus, jika dia butuh teman ngobrol, silakan datang ke rumah atau menghubungiku.

Otakku yang gemas ini langsung berpikir, ada yang harus aku lakukan segera untuk mengubah situasi ini. Setidaknya langkah pertama bertemu Edo sudah berjalan, melihat akar masalahnya di mana. Aku langsung menghubungi salah seorang teman pendamping dan mencari informasi tentang Edo—dari teman pendamping, aku dapat informasi bahwa Edo sebenarnya punya riwayat pengguna kartu kuning atau ODGJ (Orang dengan Gangguan Jiwa).

*terjemahan: ”Edo diusir kalau belanja lontong di warung, dulu, anak-anak kecil biasanya ramai bermain di halaman rumahnya. Sekarang mereka dilarang sama ibunya , kalau ada yang datang main, ketahuan ibunya maka akan dipukul, Santi kakak perempuannya dan suaminya, sering memukulnya, sehingga dia merasa tersiksa.

***

Bersambung

Penulis

Lova Alodya; Seorang ibu dari 2 orang anak, Faizi dan Shira dari Ali Nasril, suami yang selalu mendukung kegiatan dari perempuan yang banyak mau ini. Saat ini menetap di kota Padang, belajar dan bekerja PKBI Sumbar.
Instagram: @lovaalodya; @pkbi.sumbar

Sebarkan