Sudah Samakah Kaum Minoritas Di Mata Negara?

“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, begitulah bunyi sila kelima dalam Pancasila yang menjadi dasar negara kita. Tapi, apakah memang seluruh rakyat sudah mendapatkan keadilan dalam kehidupan sehari-hari? Kita seharusnya menilik kembali kasus stigma, diskriminasi, penolakan, kekerasan secara fisik maupun verbal pada minoritas, khususnya kaum LGBTIQ+ di Indonesia. Kentalnya nilai-nilai agama, norma yang berlaku di masyarakat dan tradisi, menjadi pemicu penolakan yang terjadi.  Misalnya, dari komunitas LGBTIQ+ yang dianggap menyalahi kodrat lahiriah yang telah diberikan Tuhan, dan menganggap jika LGBTIQ+ merupakan budaya barat yang beranggapan perilaku cabul dan yang berkaitan dengan kesusilaan termasuk yang dilakukan orang-orang berorientasi seksual berbeda, seperti LGBTIQ+ tidak dianggap pelanggaran budaya dan norma, sehingga menjadikan sebagian masyarakat Indonesia memilih untuk menjauhi bahkan menolak kehadiran mereka (komunitas LGBTIQ+).

Angka diskriminasi yang tinggi juga dipengaruhi oleh pandangan masyarakat yang menganggap kelompok LGBTIQ+ merupakan sebuah penyakit kejiwaan. Dampaknya, sebagian besar  komunitas LGBTIQ+ menutup jati diri dan menarik diri dari kehidupan. Sedangkan, sebagian lagi berani menunjukan jati diri sebenarnya dan memperjuangkan hak-hak komunitasnya. Walapun tak sedikit orang yang mencela dan menolak kehadirannya. Tidak sedikit pula yang berada pada barisan mereka dari lembaga-lembaga komunitas LGBTIQ+, lembaga keberagaman, dan beberapa lembaga bantuan hukum untuk memperjuangkan hak-hak mereka di mata hukum negara.

Fenomena penolakan dan diskriminasi ini menjadi bukti bahwa negara tidak dapat sepenuhnya menjamin keadilan bagi seluruh rakyatnya, termasuk menjamin hak asasi dari kaum minoritas, khususnya komunitas LGBTIQ+. Ketidakberpihakan pemerintah kepada komunitas ini pun terlihat dari beberapa undang-undang yang dinilai diskriminatif, tidak merangkul komunitas LGBTIQ+ di Indonesia. Beberapa kasus yang pernah terjadi di Indonesia, seperti pasangan gay yang dihukum cambuk 80 kali di depan khalayak ramai di Aceh.

Kejadian tersebut dilakukan untuk menegakkan peraturan Syariah Aceh, bagaimana pemerintah daerah menjatuhi hukuman tersebut pada orang yang mempunyai orientasi seksual berbeda dari kebanyakan orang pada umumnya. Ada juga seorang aparat kepolisian di Semarang yang dipecat, karena dia homoseksual. Ada pula razia-razia yang dilakukan oleh satuan polisi pamong praja di tempat tongkrongan teman-teman komunitas LGBTIQ+ di Surabaya. Alasan mereka untuk menegakkan peraturan ketertiban umum. Begitu juga dengan adanya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang ramai beberapa bulan lalu yang sudah disahkan, yang semakin membatasi ruang gerak komunitas LGBTIQ+ dan juga semakin mendiskriminasi. Keberadaan KUHP ini cenderung lebih mengkriminalisasi teman-teman komunitas LGBTIQ+ di Indonesia. Di Malang misalnya, ada beberapa pelanggaran hak asasi manusia yang pernah dialami komunitas LGBTIQ+, yaitu kasus penggrebekan komunitas gay di pemandian air panas Songgoriti. Padahal mereka tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum, seperti hubungan seks di tempat tersebut.

Ada pula kasus yang terjadi di salah satu universitas negeri di kota Malang yang memasang sepanduk, serta seruan larangan mahasiswa LGBTIQ+. Tidak hanya itu, ada  ancamanan drop out bagi mahasiswa yang terbukti menjadi salah satu anggota komunitas LGBTIQ+. Selain itu, terjadi kasus penganiayaan terhadap seorang waria yang dilakukan orang yang mengaku aparat. Penolakan komunitas LGBTIQ+ yang merupakan salah satu Orang dengan HIV AIDS (ODHA) juga pernah terjadi di salah satu rumah sakit swasta di kota Malang. Banyaknya kasus diskriminasi dan juga penolakan ini menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua. Tidak hanya pihak pemerintahan, tapi juga kita sebagai warga negara. Bukankah keadilan serta kesetaraan  diharapkan oleh semua orang?

Bukan hanya sesama warga Indonesia yang menyudutkan, serta mengdiskriminasi kelompok LGBTIQ+, tetapi juga dari pihak negara yang seharusnya melindungi, justru membuat peraturan yang dituangkan di KUHP untuk membatasi dan mendiskriminasi serta mengkriminalisasi komunitas LGBTIQ+ juga kaum minoritas lainnnya pada Pasal 292 dan diatur Kembali pada Pasal 495 ayat (1). Banyak aktor diskriminasi dilakukan oleh penegak hukum yang seharusnya mengayomi dan melindungi warganya.

Dalam kehidupan sehari-hari, tak sedikit perlakuan tidak menyenangkan yang dilakukan non-LGBTIQ+ kepada komunitas ini. Namun, perlindungan terhadap diskriminasi maupun ujaran kebencian pada komunitas dinilai nihil dan tidak berpihak kepada mereka. Padahal sudah menjadi tugas negara menjaga dan melindungi hak-hak warganya. Komunitas LGBTIQ+ juga sudah melakukan perjuangan untuk mendapatkan hak-haknya sebagai  Warga Negara Indonesia yang setara dengan yang lainnya tanpa memandang orientasi seksual. Pihak negara pun belum ada upaya melindungi komunitas LGBTIQ+ atau kaum minoritas lainnya karena undang-undang tentang hal ini belum hadir.

Paradigma dan pandangan masyarakat Indonesia perlu diubah agar komunitas LGBTIQ+ atau kaum minoritas lainnya memiliki perlindungan atau hak yang sama sebagai Warga Negara Indonesia. Dengan cara memberikan citra positif kepada komunitas LGBTIQ+, serta tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum atau norma, sehingga masyarakat tidak akan menganggap semua LGBTIQ+ itu sama. Sedangkan yang melakukan tindakan tersebut hanyalah oknum yang membuat nama semua komunitas buruk di mata masyarakat luas. Kurangnya informasi dan pemahaman akan hak asasi manusia dan hukum, membuat komunitas yang mengalami kasus atau diskriminasi bingung apa yang harus dilakukan. Diharapkan dengan adanya paralegal dari komunitas LGBTIQ+, dapat membantu komunitas dalam menyelesaikan masalah baik litigasi maupun nonlitigasi. Dengan adanya paralegal komunitas yang akan membantu, mereka akan lebih nyaman dan percaya.

 

Penulis

Heru Prasetyo; Laki-laki lajang, kelahiran 1992 di Gunung Kidul, sejak usia sekolah menengah pertama hingga saat ini, senang mengikuti kegiatan organisasi dalam isu sosial. Kini, ia mengabdikan diri dalam memperjuangkan hak-hak komunitas di negaranya sendiri.
Instagram: @heruprastyo90

Sebarkan